Thursday, May 8, 2025

Kecewa yang berulang

Kemarin,7 Mei 2025, anakku berulang tahun yang ketujuh. Semakin besar usianya semakin banyak pula rasa bersalah karena hutang pengasuhanku. Bukan hanya karena sikap kasarku, bentakanku, atau khilafku karena memukulnya, tapi juga karena ketidaksanggupanku memberikan contoh. Baik sebagai seorang individu ataupun caraku berpasangan dengan bapaknya. 

Menurutku (entah menurut Bapak Keefe), kami gagal memberikan contoh baik bagaimana seseorang harus memperlakukan pasangannya. 

Rasa kecewaku atas kata kasar, bentakan bapak Keefe, tak bisa kubalas dengan asertif. Yang kulakukan seringkali justru mengulangi perbuatan yang sungguh aku benci itu. AKU BENCI DIBENTAK tapi AKU NGGA TAU HARUS GIMANA. 

Keefe membentak karena dia lihat cara bapaknya memperlakukanku dan meniru caraku memperlakukan Keefe. 

Aku selalu meminta maaf ketika kelepasan nada tinggi, tapi dia ngga pernah lihat bapaknya minta maaf padaku. Pernah suatu hari Keefe bilang, "Bapak udah bentak ibu ternyata bapak yang salah."


Aku selalu bilang i love you pada Keefe, tapi Keefe ngga pernah lihat bapaknya mengucapkan itu padaku.

Selalu kukerjakan apa yang disuruh. Bahkan tanpa diminta. Tapi kenapa ketika aku minta tolong diabaikan? Keefe yang waktu itu usianya 4 tahun protes, "Ibuk kenapa selalu ambilin minum bapak dan buatin kopinya? tapi kalau Keefe ibu bilang ambil minum sendiri?". Di usianya 7 tahun, Keefe lihat bapaknya menolak kasar ketika Ibu minta tolong ambilkan selimut di kamar yang hanya berjarak 10 langkah.


AKU KECEWA atas peran kami yang gagal sebagai rolemodel pasangan agar kelak dia baik memperlakukan pasangan dan mengerti caranya agar diperlakukan baik. Tentu saja aku SANGAT KECEWA sebagai seorang istri. 

Aku cinta karena lebih dulu (merasa) dicintai. Haruskah aku juga acuh karena (merasa) tak DIPEDULIKAN LAGI?

Lantas gimana kehidupan rumah tangga ini? Bagaimana anak kecil ini? Seperti apa kehidupan masa depannya? Aku ngga mau ini akan jadi trauma, melihat ibu bapaknya saling acuh.

Aku ngga mau jadi satu-satunya orang yang merasa kecewa sedang bapak Keefe merasa semua baik-baik saja. Meski dari awal pernikahan aku merasa rumah tangga ini penuh kepahitan. Seolah dibohongi, seperti menikah dengan orang yang lain. Lima tahun, tapi ternyata aku tak mengenal sosoknya. 

Yang sebelum menikah selalu bilang Iloveyou setelah menikah jadi jarang menghubungi. Katanya sudah tak lagi menjadi prioritasnya. 

Oke, aku yang sejak saat itu kecewa, perlahan mundur. Membalasnya dengan bukan menjadi yang pertama menelepon menanyakan kabar, sedang apa, dan pertanyaan "receh" lainnya. 

Cerita pentingku pun lebih kupilih  orang lain aja deh yang tau karena ketakutan dan rasa traumaku dianggap tak penting dan tak didengar.

Yang kuceritakan dengan antusias hanya tentang anak. 

AKU SUNGGUH KESEPIAN..

BENARKAN PERNIKAHAN BISA RETAK MESKI MASIH ADA CINTA? ATAU SEBENARNYA KAMI SUDAH TAK SALING CINTA? 

Tuesday, May 6, 2025

Perjalanan Mental 1

Kemarin, tepatnya Senin, 5 Mei 2025 aku memantapkan hati konsultasi tatap muka ke psikolog. 

Setelah dipersilakan duduk, mba Intan, psikologku memberikan hasil assesment yang beberapa hari sebelumnya aku kerjakan secara daring. Beberapa lembar yang diberikan padaku mampu membuatku berkaca-kaca. Beberapa menit kuhabiskan "cerpen" itu sambil berkali-kali menghela napas.

"Gimana?" begitu yang kuingat kata mba Intan saat aku selesai membacanya. Tak langsung kujawab karena aku harus mengatur emosiku. 

"Kaya baca cerpen sedih tapi tentang diri sendiri".

"Merasa divalidasi?" begitu kemudian mba Intan kembali bertanya yang kujawab dengan isak dan anggukan.

"Kalau boleh tau kenapa mba Elvira kesini?"

Aku tak mampu langsung menjawab pertanyaan itu, aku meminta tissu karena tangisku tumpah. Aku pernah mengalami hal ini di depan psikolog lainnya. 

Mba Intan membiarkanku melepaskan segala emosiku tanpa berkata apapun. Its your time, mungkin itu pikirnya. Setelah mulai menguasai diri aku menjelaskan. 

---

Aku tau aku sudah lama ngga baik-baik saja. Tapi semakin kesini aku makin sadar aku menularkan semuanya ke anakku. Aku sadar segala "perilaku buruk" anakku akibat perlakuan burukku padanya. 


Kulampiaskan semua kelelahan, kewalahan, frustrasi hanya padanya. Anakku lah satu-satunya sasaran empukku. Aku bebas melampiaskan kekesalanku lewat kesalahan kecilnya.

Sebelumnya, saat aku masih tinggal dengan adik bungsuku, aku pernah melampiaskan emosiku padanya, kupukul dia yang menurutku-waktu itu kebangetan (yang sampai sekarang terasa sakit karena rasa bersalah).

Setelah hanya tinggal dengan anak dan suamiku, kejadian itu kembali berulang pada anakku sendiri. Sampai kemudian setelah mulai kurenungi, aku yang miskin ilmu dan sempit sabar, ditambahkan lelahnya hatiku menghadapi kesendirianku. Bukan mereka yang berperilaku nakal ataupun hal negatif lainnya. Mereka hanya media untukku melampiaskan segala emosi yang sudah kutahan dalam hatiku. 

Hanya karena sedikit kesalahan, aku yang memang ingin berteriak menumpahkan bentakanku pada anak-anak kecil itu, pukulan dan cubitanku pada sesosok yang tak seharusnya mendapatkan itu.

Saat mulai sadar, aku ingin mengembalikan parenting ku yang sempat sehat. Ternyata tak mudah. Beragam kelas parenting kuikuti bahkan sejak anakku masih bayi gagal kupraktikkan. Semakin bertambah umur Keefe, semakin sempit sabarku, semakin menantang peran ibu-anak kami.

Kudatangi psikolog anak karena anakku sudah terlanjur meng-copy segala tindak tanduk burukku. Sungguh menghadapi anakku yang semakin besar justru tantrum berulang. Aku berkaca, cara Keefe menumpahkan emosinya itu adalah AKU. Aku seperti menghadapi diriku sendiri. Dua tahun parenting berubah tidak sehat, aku ditunjukkan bagaimana menyebalkannya diriku sebagai orangtua oleh anakku dengan sikapnya.


Mulai dari guru, psikolog sekolah, sampai menyisihkan uang tabungan untuk pergi ke psikolog anak. Aku mau mengusahakan segala yang terbaik karena aku tau aku butuh bantuan. Semakin lama kutunda semakin besar peluang kami (aku dan Keefe) menciptakan trauma. 


Tapi rasanya aku sudah khatam dengan saran dari psikolog-psikolog anak itu. Secara teori nilaiku bagus, aku mampu menjawab segala pertanyaan psikolog dari sisi positifku. Tapi praktiknya, kesabaran dan emosiku jeblok. Bukannya membaik, keadaan semakin memburuk. 

Anakku sekarang sudah tujuh tahun, bukan lagi toddler. Dia akan menghadapi fase beratnya sebagai anak-anak dan masa prapubertasnya. Aku mau menemani dia dengan layak dan nyaman. Aku ngga mau semakin lama semakin kesulitan menumbuhkan hubungan yang sehat. 


Aku tau masalahnya bukan pada anakku, tapi ada dalam diriku.

Aku mau berdamai dengan diriku sendiri, aku mau ikhlas, atau mungkin yang aku pengen adalah rasa tidak peduli. Aku mau aku bisa bahagia sendiri lalu kemudian aku bisa segar menyirami anakku. Menularkan kebahagiaan buat anakku bukan warisan luka.. 

Selama ini, aku seperti bertukar peran. Anakku lah yang selalu berusaha mengerti diriku, mengisi tangki cintaku yang kosong, meramaikan ruang sepiku itu. Bagaimana aku bisa mewujudkan doaku agar anakku bahagia sementara energinya selalu habis untuk diberikan pada ibunya yang kering ini?


----

Begitu aku menjabarkannya ke Mbak Intan. .

Terkesan remeh?

Jangan salah, meski banyak yng skeptis soal gentle parenting, tapi aku pernah sedikit lagi berhasil melakukannya. Aku sudah merasakan manfaatnya, mulai dari kemandirian anakku di usia dini, kelihaian motorik, dan kemantapan kognitif dari caraku menerapkan gentle parenting. 

Setelah pola asuhku (tak sengaja) berubah, semuanya bubar jalan. Aku menyadari banyak kemorosotan terutama dari perilaku dan hubunganku dengan anakku. Orang lain tidak menyadarinya. Tapi AKU BISA MENJABARKANNYA kalau mau. 


AKU. AKU. AKU YANG PALING MENYADARI PERUBAHAN BURUK DARI PARENTINGKU DAN BERBAGAI AKIBATNYA. 


Aku tak hanya pernah memukul, berteriak dan sering membentak anakku. Aku tau itu salah maka aku tak boleh melakukannya lagi. 


Tak bisa melukai orang lain, aku melakukannya pada diriku sendiri. Masih dalam taraf menggigit, mencubit, dan menjambak diri sendiri. Aku melakukannya agar bisa sedikit melupakan kesakitan hatiku yang teralihkan oleh sakit fisikku. Beberapa tahun yang lalu, aku ambil pisau di depan suami dan anakku. Kesalahan besar yang kulakukan pada DIRIKU DAN ANAKKU. Saking sesaknya dadaku dengan emosi dan rasa disalahkan. 


Kerapkali aku membayangkan rasanya merokok. Sepowerfull itukah melepas stress? Berimajinasi merokok di atap rumah sendirian rasanya nikmat melupakan masalah dan rasa sepi.


Tiga tahun terakhir dan makin sering beberapa waktu kebelakang, dadaku sakit, sakit sekali, aku bahkan merasa harus ke UGD karena rasa sakitnya. Aku kesulitan bernapas. Kupikir jantungku bermasalah. Anehnya, ketika aku ada bersama orangtua ku, aku lupa dadaku sakit, ohh sakitnya hilang. Lalu aku berpikir, apakah ini gejala depresi?

---

Mba Intan bertanya kapan terakhir kali merasakan gejala itu? LEBARAN. Hari itu aku mengurung diri di kamar, menangis, ingin marah dan meluapkan teriakan tapi aku tak bisa, ku sakiti fisikku karena sesakit itu hatiku. 


Kalimat itu, peristiwa itu sampai detik ini membuatku menangis SETIAP HARI. Mengingat peristiwa yang mungkin bagi semua orang adalah hal wajar tapi aku justru sakit. Menulis ini saja membuatku menangis. 


Kucoba alihkan fokusku, sekuat tenaga ku lupakan tapi justru semakin melekat. 

Aku mencuci piring sambil mendengarkan podcast, aku menangis tiba-tiba teringat hari itu. Lebih aneh lagi, pas zumba bisa-bisanya adegan dan ucapan itu muncul di otakku dan kembali membuatku sakit. Ketika itu terjadi, kejadian-kejadian mengecewakan dan menyakitkan lainnya kembali terurai, menyapa, dan menyayat. 


Apa yang terjadi saat lebaran? Sungguh sampai detik ini AKU MUAK KARENA AKU NGGA PERNAH TAU APA YANG SESUNGGUHNYA TERJADI. AKU DITUDUH TAPI AKU TAK BISA MEMBELA DIRI. Kejadian itu membuatku ovt ada banyak tuduhan lain padaku, mungkin pada orangtuaku, yang aku ngga tau karena ngga pernah ada penjelasan apapun dari siapapun. MUAK..


Aku capek menderita sendirian. Yang lain mungkin merasa semua berjalan baik-baik saja. Hanya aku yang bertopeng kebahagiaan. Aku ngga mungkin menceritakan kepahitanku pada orangtuaku, biarlah yang mereka tau gadis kecilnya ini selalu bahagia.


Aku mau sembuh, bukan cuma karena hanya aku yang merasa sakitnya tapi aku ngga mau anakku tertular. 

Aku ngga mau orang-orang yang aku cinta dan aku sayang justru menjadi orang-orang yang paling rawan.


Aku nggamau rasa sakit ini menggorogoti hati dan sel baik dalam tubuhku. Membuatku kehilangan nikmat karena terlalu merasa nestapa. Aku masih bisa merasakan tulusnya rasa sayang orang-orang yang jelas-jelas menunjukkannya kepadaku. Aku ngga mau kehilangan rasa syukurku. 


AKU MAU SEHAT...

Sunday, March 30, 2025

 Beberapa waktu ke belakang sedang viral obrolan Arra si anak lima tahun tentang jodoh yang dinilai terlalu dini untuk dibicarakan anak seusianya.


Sedang anakku yang waktu itu, entah berapa usianya, mungkin sekitar 5 - 6 tahun, hingga saat ini, bicara soal dirinya yang tak mau menikah dan punya anak. Kadang dia bisa menjelaskan betapa menikah dan punya anak itu ribet dan menyusahkan, kadang sekenanya juga dia bilang malu sama istrinya, yang menurutnya adalah orang lain.  


Aku pun ngga tau kenapa tiba-tiba dia punya pandangan begitu soal pernikahan dan punya anak. Tapi firasatku pasti ada hal yang sudah menjadi trauma sendiri dalam diri anak kecilku itu. Mungkin pengasuhanku belum tepat atau hubunganku dengan bapaknya belum menjadi contoh yang benar. Sudah kucoba sekuat tenaga dan pikiran tapi tak bisa kuingkari, bahwa aku, kami, telah membuat luka, dari berbagai celah. Yang sebisa mungkin ku tembel walau mungkin tak lagi menjadi sempurna. 


Aku juga bingung harus bagaimana bersikap. Kubilang, "Memang berat tapi juga ada bahagianya. (diiringi penjabaran apa-apa yang bikin berat dan apa saja yang membuat bahagia). Nanti kalau Keefe sudah dewasa pasti udah bisa matang berpikir dan buat keputusan. Apapun ya ibuk dukung."


Aku tak serta merta bilang kalau menikah itu pasti bahagia apalagi doktrin kewajiban menikah. Karena sekalipun bahagia punya Keefe, kalau terlahir kembali mungkin kupilih melajang, hahah...

Thursday, March 21, 2024

Kali kedua konsul psikolog sekolah Keefe. Funfact-nya, jangankan konsul sama psikolog, aku ikut kelas parenting aja bisa ngga tidur karena ovt mempertanyakan kenapa aku selalu belajar tapi ngga pernah berhasil. 

Kadang aku mikir, dahlah kayanya aku ngga usah lagi ikut-ikut kelas parenting biar waras biar sekalian ngga tau teori yang ternyata susah untuk diterapin. Tapi ternyata setiap aku mikir demikian ada sisi lain yang berbicara, "kamu belajar kemudian kamu gagal kamu menyesali, memperbaiki, dan kembali belajar artinya kamu tidak abai". Terlebih mamaku selalu mendorongku untuk konsul psikolog untukku pribadi yang sering kelelahan mental ini dan ke psikolog anak untuk tanya biar ga salah menanggapi  Keefe. Mamaku sering bilang, "mama dulu ngga tau, yang mama kira mama bener ternyata belum tentu bener. Dulu akses psikolog susah dan ga ada duit. Sekarang kamu tau dan duit bisa dicari. Kamu ke psikolog karena menurut mama anak kaya Keefe butuh ditangani psikolog". 

Iya, aku tau emang aku butuh saran profesional yang belajar ngga cuma belajar dari pengalaman pribadi tapi dari penelitian dan sains yang jelas sudah ada sampel dan data yang diuji. Tapi aku tau juga ke psikolog butuh hadir berkala berkelanjutan, uang memang bisa dicari tapi untuk saat ini kayanya masih sulit mengejar uang untuk biaya psikolog yang dibayar per jam itu. Maka karena aku tau keterbatasan finansialku, aku cari solusi untuk cari sekolah yang menyediakan psikolog dan konsultasi orangtua secara gratis, meski memang biaya sekolahnya jadi lebih mahal tp itu win solusion buat ku.

Keefe sudah baru dua kali ke psikolog. Sebetulnya karena obeservasi kesiapan SD. 

Kali pertama observasi di TKnya saat ini khusus aku jadwalkan kesiapan SD. Ketika ditanya kenapa aku mau melakukan tes kesiapan masuk SD  aku jawab karena aku ngga mau jemawa, buru-buru memasukkan Keefe SD karena hanya dari penilaianku saja Keefe siap. Aku butuh hasil kesiapan dari profesional karena meskipun menurutku Keefe siap masuk SD tapi secara uji dia belum mandiri dan sebagainya maka Keefe tetap akan TK. Aku ngga mau karena penilaian sesat dan sesaatku kemudian membuat belajar tidak lagi menyenangkan buat Keefe. Dia kesusahan beradaptasi dan efek negatif lainnya. 

Observasi di sekolah dilakukan 10.30 dan berakhir di jam 13.30. Di rentang waktu tersebut aku menunggu di sekolah dengan cemas. Bukan takut hasilnya tidak baik. Tapi, buset lama amat, kasian anak gue. Mindsetku saat itu adalah sama ketika aku ujian masuk universitas, hihi. Pas nunggu sumpah aku mikirin keefe, dia ngapain yaa, jenuh ngga yaa, karena yang dites cuma dia doang. Tapi pas keluar anaknya cengar-cengir bilang seru. Aku tanya ngapain aja yaa dia cerita keseruannya. Alhamdulillahh. 

Ternyata hasilnya keluar lama banget sampai akhirnya waktu observasi kesiapan tes masuk SD di salah satu SD yang kami tuju. Ada dua agenda, observasi kesiapan SD dan seat in di kelas 1 SD. Total waktunya dari 7.30 sampai 11.00. 

Nah pas observasi di calon SD tu Keefe sama psikolog dan guru pedagogik. Aku ngga ikut nganter karena khawatir drama susah melepaskan tangan Ibuk. Pas dapet info Keefe sudah masuk kelas untuk seat in aku baru samperin dan ngejar psikolog untuk konsultasi. Ini sih ngga ada dalam agenda, tapi alhamdulillah sekolah welcome saat aku bilang pengen konsultasi sama psikolognya. 

Pas sesi konsultasi aku dan Bapak Keefe bersama psikolog dan guru pedagogik sementara Keefe di kelas. Sesi dimulai dengan guru pedagogik menyampaikan hasil observasi bahwa Keefe mempunya kemampuan kognitif, berbahasa, dan lainnya (yang aku lupa) di atas rata-rata. Tapi ada banyak hal yang perlu ditingkatkan karena Keefe seolah bertanya saat menjawab, kayanya ngga PD gitu. 

Nah, saat diminta untuk menjelaskan bagaimana Keefe diasuh, disitulah badai air mata menyerang. Aku ngga sanggup berbicara, lama aku menangis terisak. Aku bilang, aku mungkin pernah bangga dengan bagaimana kemampuan Keefe sekarang karena aku yang terlibat langsung membersamainya tapi setelah 24/7 sama Keefe, kebanggaanku menjadi banyak kekhawatiran. 

Aku takut Keefe yang sekarang besok akan berubah karena banyak luka yang buat ke dalam jiwa Keefe. Tentang bagaimana perubahan pola asuhku yang aku sadar banyak kemunduran saat ini, perbedaan ketika aku bekerja di luar rumah dan saat aku di rumah saja. 

Aku merefleksikan tentang bagaimana Keefe saat ini memang tidak seperti Keefe kecil anak pemberani dan mandiri. Tentang bagaimana aku tidak sabar lagi, menuntutnya mengikuti kecepatanku, tidak lagi tenang mendengar isaknya, bentakkanku atas rengekannya, dan menyalahkannya atas ketidakbisaan dan ketidaksanggupanku menanggapi sikap dan perilakunya. 

Aku selalu tau dan sadar bukan perilakunya yang menantang tapi aku yang tak lagi cakap mengelola emosi dan ekspektasi, tak lagi mahir bernegosiasi. Tentang bagaiamana aku melukai perasaannya saat dia menumpahkan sesuatu, saat banyak air di lantai ketika dia berinisiatif cuci piring, dan bagaimana aku tidak lagi membebaskannya di dapur. Aku terlalu lelah membereskan, negosiasi tegas dan baik sulit aku lakukan sehingga dia sadar untuk bertanggungjawab. Tanggung jawabnya hanya karena Ibuk marah, bukan lagi dia sadar. 

Aku tau ngga seharusnya aku berbagi beban mentalku pada anak kecil itu, tapi Keefe jadi satu-satunya pelampiasanku. Aku tau aku salah. Aku tau yang harus diubah bukan anak kecil itu melainkan aku.

Alhamdulillah, aku semakin yakin untuk memasukkan poin tersedianya psikolog dalam daftar pencarian sekolah. Lepasnya tangisanku di depan psikolog seolah menjadi wadah pengakuan doaku dan sarana untuk mengajak bapak Keefe yang ada di sampingku untuk selalu introspeksi dan refleksi sebagai orangtua. 

Senin (18 Maret 2024) kemarin hasil tes kesiapan SD yang sudah dilakukan di TK keluar hasilnya dan aku konsultasi dengan psikolog TK, aku cerita di postingan terpisah karena ternyata udah waktunya jemput anak kecil. 

Nanti kalau suatu saat Keefe baca tulisan Ibu ini, seperti yang selalu Ibu bilang Keefe, Ibu akan selalu belajar untuk jadi ibu yang lebih baik, yang membersamai Keefe dengan mengobati luka Keefe yang udah terlanjur Ibu kasih ke Keefe. 

Tuesday, March 19, 2024

Tinggal di bandung

Bandung menjadi kota besar kedua setelah Jakarta tempatku merantau. Hmm entah Surabaya dan Sidoarjo dapat disebut tempat merantau juga ngga yaa (?).

Tinggal di Bandung hampir dua tahun ini, atas tinggal bersamanya kami di satu atap yang sama membuatku bersyukur bahwa Keefe merasakan menunggu Bapak pulang kerja, membangunkan bapak, dan menagih janji bapak untuk main bersama. Bersama di Bandung (semoga) menjadikan Keefe lebih bahagia karena lihat Bapak dan Ibunya, kedua orangtuanya sama-sama terlibat atas banyak aktivitas sekolahnya -yang mungkin kalau aku tetap menjalani LDR hanya aku yang selalu hadir di setiap acara sekolahnya. 

Karena memilih sekolah di Bandung, seenggaknya bapak Keefe melihat dan mendengarkan tangisanku di depan psikolog salah satu calon sekolah Keefe tentang bagaimana aku berutang pengasuhan terhadap Keefe, bagaimana aku justru menjadi momster ketika 24/7 bareng dia.

Dan karena tinggal di Bandung, aku dan bapak Keefe yang tadinya ngga bersepakat soal pemilihan sekolah jadi punya kesamaan kriteria sekolah. Karena apa? Tentu bukan karena diskusi kami berdua, tapi karena bapak Keefe lihat dan merasakan langsung sekolah TK yang kami pilih dan survey beberapa sekolah dasar. Beliau jadi tau bahwa setiap sekolah itu memang berbeda dan yang paling cocok adalah yang sesuai dengan value keluarga. Memang tipikal manusia yang harus merasakan daripada mendengar pendapat, hihi...

Namun, aku mau bercerita tentang bagaimana sukanya aku tinggal di Bandung:

1. Bisa belajar banyak hal dengan pakar secara langsung 
Tentu saja asal ada duitnya, hehe. . Sungguh aku ngga bisa melupakan semangatnya diriku saat datang ke acara parenting dengan narasumber yang dulunya cuma bisa aku dengarkan di ruang zoom atau Instagram live sambil ngantuk atau mengerjakan sesuatu lainnya. Bisa sambil bergumam "wah banyak banget peserta bapak-bapak", "ternyata cakep banget narasumber pas ketemu langsung". Ngga sempet ngantuk, karena seseru itu datang langsung ke acara parenting. Meskipun banyak pelatihan yang bukan parenting banyak diadakan di Bandung daripada Surabaya tapi sejauh ini budget datang langsung masih bisa kusiapkan dan ku prioritaskan untuk tema parenting. Semoga Allah cukupkan dan lebihkan biar aku bisa cari ilmu lain selain ilmu parenting.

2. Pilihan sekolah dan tempat les
Lagi-lagi asal ada duitnya, hihi... Alhamdulillah kontrakan kami dikelilingi sekolah dari yang bagus sampai bagus banget. Terus, sebagai orang yang tidak bisa berlalulintas, tempat les mulai dari musik dan olahraga gampang banget aku gapai. Sejauh ini, aku bukan tipe ibu yang lesin anak pelajaran sekolah :) Meskipun sebagai introvert aku ngga papa banget tinggal di gunung, tapi rejeki kontrakan di tempatku yang sekarang menyadarkan ku bahwa hidupku sekarang bukan tentang aku aja, tapi ada bocil yang harus dicukupi dari segala sisi dan aku butuh bantuan pihak lain ketika aku ngga bisa mencukupinya dengan tanganku sendiri. 

3. Wargi Bandung 
Tau ga sih gara-gara setahun lebih di Jakarta dan hampir dua tahun tinggal di Bandung aku jadi punya stereotipe tentang penduduk bagian barat dan timur pulau Jawa. Maafkan yaa, ini pengalaman pribadi, sungguh ini hanya stereotipe yang aku buat sendiri hihi. . 

Nih yaaa, aku tu pas tinggal di Surabaya termasuk -yang kata orang- golongan cupu yang ngga bisa nyetir mobil atau kemana yang jauhan dikit kudu naik ojek online. Banyak banget yang bilang "belajar mobil dong, biar ga ngerepotin, biar gampang kemana sendiri", meskipun ngga sampe yang bikin gedeg karena aku tu termasuk tipe yang masuk kanan keluar kiri urusan begituan. Karena yaaa, menurutku, aku ngga bisa naik mobil juga ngga ngerepotin orang, ada uang kunaik ojek online ngga ada uang yaa artinya emang aku harus di rumah saja. Urusan darurat, ada uang ngga ada uang kan yaa tetep harus berangkat, ya nggaaa. . Mamaku sebagai role modelku yang ngga bisa naik motor mobil bahkan masih bisa survive kemana-mana sendiri karena sering ditinggal papa keluar kota. 

Tapi niihhh pas di Bandung, buanyaakk banget perempuan-perempuan yang bahkan ngga bisa naik motor dan mobil. Sungguh kumerasa superior, haha. Sering ketemu tetangga peran suami di warung sayur, hmm biasa ibu-ibu kepo dalam hati bertanya kemana istrinya ga pernah keliatan, anjem anak juga suami, laah terus dapat jawaban ternyata dia ga bisa bawa kendaraan. Tetangga lagi juga cerita klo ga bisa bawa motor mobil jadi dia anjem anak pake sepeda listrik. Mama temen sekolah Keefe yang sekarang jadi temenku juga ngga bisa bawa motor dan mobil. Haaahh sumpah, di kota besar justru aku menemukan teman "golongan cupu" mungkin aku leadernya karena mayan lah aku bisa anjem Keefe sendiri pake motor karena jalanan Bandung yang sempit ini, hihi. .
--
Adalagi niihhhh, aku ga pernah dapet kalimat lanjutan dari jawabanku "iyaa, cuma Keefe aja, satu doang", belum pernah inget ada wargi Bandung yang "sok atuh nambah", "udah waktunya tuh, cukup loh jarak usianya", kaga pernah ada kalimat nasihat nambah anak yang kudengar dari wargi Bandung bahkan dari Generasi Baby Boomers yang kupanggil nenek, nin, dan eyang. Obrolan soal anak berhenti pada pertanyaan berapa anaknya tanpa ada embel-embel lanjutan. 

Sementara pengalamanku tinggal di Jatim, yaahhh sebaliknya haha. Meski aku ga pernah ambil pusing soal nasihat orang-orang soal anak kedua. 

Fun fact nih ketika aku update status "Duhh jangan cepet besar dong Keefe",
 
respon kontak warga Jatim : 
"Ibunya galau nih, gass nambah lagi"
" Yo dibikinin adik biar ada gantinya"

respon kontak wargi:
emot peluk

Nah gara-gara respon kontak wargi aku sadar iya juga yaa kenapa ungkapan "kangen Keefe bayi" atau "jangan cepet besar dong" selalu diasosiasikan untuk nambah individu baru sebagai pengganti? Kenapa?

apakah "hmmm aku kangen deh masa-masa pacaran" artinya aku harus cari pacar baru? Nyahahaha

Aku juga menemukan banyak teman di Bandung, karena apapun motivasinya dan latar belakangnya, banyak orangtua dengan satu anak yang seumur Keefe atau bahkan lebih. Beberapa teman sekolah Keefe juga (masih) anak tunggal. Yey...
--
Seperti yang sudah aku ceritakan di poin satu, Bandung merupakan tempat di mana para ayah juga terlibat dalam pengasuhan itu ada ngga cuma dalam bayangku. Dalam beberapa kali kegiatan di sekolah Keefe yang boleh hanya dihadiri satu orangtua, ngga sedikit yang datang ya para ayah sambil membawa satu adik kecil di gendongannya. Pas acara sosialisasi orangtua saat observasi SD Keefe orangtua datang berpasangan, bahkan ada beberapa di mana ayah hadir seorang diri. Ohiya di grup orangtua sekolah TK keefe juga anggotanya ada ayah. Bandung membuatku semakin yakin bahwa banyak orangtua yang sudah tidak lagi membebankan pengasuhan terhadap salah satu pihak saja. 
--
Keefe sudah daftar ulang SD kemudian mencuat kasus Bullying di sekolah elite, jujur itu sempat membuatku ketar-ketir akan status ekonomi. Meski aku ngga pernah bosan menjelaskan hingga bermain peran soal bullying tapi akhirnya rasa takut Keefe masuk ke lingkaran setan itu muncul. Hingga kemudian aku tersadarkan kembali bahwa ini Bandung. Aku bertemu banyak orangtua dengan visi misi yang terlihat sama dengan yang aku punya. Di sekolah saat ini banyak anak anjem dengan mobil tapi ngga sedikit yang naik sepeda listrik. Bahkan, teman dekat Keefe di rumah, sekolah di sekolah yang overbudget menurut kami tapi mobilnya biasa saja, rumahnya biasa saja, dan selalu anjem dengan sepeda listrik atau sepeda motor. Anak teman kuliahku yang saat ini jadi wargi Bandung juga sekolah di sekolah overbudget kami dengan penampilan "biasa saja". Artinya mungkin status ekonomi bisa kucoret dari bahan ovt. Sekolah mahal Bandung memang bukan karena gengsi aja tapi karena kebutuhan kualitas ditambah orangtua wargi yang banyak belajar parenting kali yaaa... Semoga bisa kasih modal kisi-kisi pertemanan ke Keefe ya Allah...
----------------

Ada banyak hal keistimewaan tinggal di Bandung yang mungkin membuatku betah hidup di sini. Tapi ada satu hal yang selalu membuatku rindu dan mendambakan untuk pulang. Karena sebaik-baiknya Bandung adalah tempat yang setiap hari membuatku menangis karena kesepian. Tempat dimana aku merasa bosan dan jenuh. Tempat di mana aku merasa diriku semakin bodoh dan jelek. Tempat bahwa aku yakin bahwa ternyata semakin dewasa semakin aku jadi ibu semakin aku butuh orangtuaku.

Bandung dengan segala euforia dan problemnya, aku tinggal di sini. Sekarang, entah sampai kapan.  
 

  
 

Monday, January 15, 2024

"Obrolan Dewasa" bersama Bocah Lima Tahun

Salah satu kesan yang diberikan guru sekolah Keefe saat sesi Parent Teacher Conference adalah kemampuan Keefe nyambung pada topik-topik dewasa yang mungkin teman-teman seusianya tidak tertarik atau bahkan tidak mengerti. Saat ku sampaikan perihal tersebut ke Bapak Keefe, doi bilang "yaa karena suka ngobrol sama kamu". 


Aku emang suka ngobrol banyak hal sama Keefe. Mulai membahas topik yang sedang terjadi di lingkungan, bahasan dari buku, bahkan melibatkan dia, bertanya pendapatnya, atau mungkin bisa dibilang lebih sering curhat sama Keefe ketimbang bapake. Pernah kutanya saat sesi psikolog  rambu-rambu topik apa yang harus hati-hati atau berhenti tak boleh kuceritakan. Psikologku bilang, "Boleh curhat tapi hati-hati bercerita tentang suami. Jangan sampai anak kita menjadi Fatherless sebab kata-kata kita padahal ayahnya ada."


Akan kutulis bagaimana aku melibatkan Keefe dalam setiap keputusan penting yang aku buat. Adalah hari, saat perjalanan dari rumah ke kampus, di atas motor, aku memulai percakapan,


Ibuk (I): "Keefe, hari ini mungkin hari terakhir ibu ke kampus. Mungkin sedikit waktu ke depan, hari-hari terakhir ibuk ngajar, karena nanti ibuk akan bilang ke boss ibuk kalo ibuk mau berhenti kerja. Keefe doain ibuk ya"

Keefe (K) : "Kenapa? Ibuk ngga boleh berhenti kerja"

I: "Ibukkan ngga bisa ke kampus tiap hari. Ibuk ngga bisa ngajar di kampus tiap hari, ngga bisa ketemu mahasiswa ibuk, ngga bisa kerjasama bantuin pekerjaan yang harusnya ibuk selesaikan bareng temen-temen yang tiap hari ke kampus." 

K: "Pokoknya ibuk ngga boleh berhenti kerja. Ibuk kan bilang orang dewasa itu harus kerja. Terus kenapa sekarang ibuk mau berhenti kerja?"

I: "Yaa itu, kan sama kaya Keefe kalo keefe bilang Keefe ngga mau les ibuk kasih pilihan mau berhenti aja ta lesnya? Sama ibuk udah lama ninggalin kampus, ibuk ngga bisa ke kampus tiap hari. Kasian mahasiswa ibuk dan temen-temen ibuk yang mereka sebenernya juga butuh ibuk untuk dateng ke kampus. Ibuk terima gaji tapi ibuk ngga bisa kerja semestinya jadi ibuk merasa ngga enak hatinya. "

K: "Yaudah kalo gitu Ibuk ke kampus aja. Kita pindah lagi aja ke Surabaya"

I: "Loh, sekolah Keefe gimana? Bapak gimana? Lagian dulu keefe pernah bilang kalo ibuk ngga boleh kerja. Ibuk di rumah aja nemenin Keefe"

K: "Sekolah keefe bisa pindah buk. Terus bapak dulu pernah tinggal sama temen-temennya. Yaudah gapapa bapak sekarang biar tinggal sama temen-temennya lagi. Keefe pokoknya ngga mau ibuk berhenti kerja. Ibuk bilang orang dewasa harus kerja"

I: "Kenapa ibuk ngga boleh berhenti kerja? Kan kalo ibuk berhenti kerja ibuk mungkin bisa lebih fokus nemenin Keefe. Ibuk ngga capek mikirin harus kerja padahal ibuk lagi masak atau lagi nemenin keefe. Ibuk ngga kepikiran keefe kalo ibuk lagi kerja. Dulu Keefe pernah bilang ngga mau ibuk kerja"

K: "itu dulu buk. Sekarang keefe udah bisa sendiri. Keefe udah bisa main sendiri kalau ibuk kerja. Kalo ibuk sekarang berhenti kerja, ibuk mau kalo Keefe udah dewasa keefe ngga kerja?"

I: "Yaa bukan Keefe. Ibuk berhenti kerja karena ibuk ngga bisa ke kampus, padahal aturannya harus ke kampus. Ibuk ngga bisa ngajar ketemu mahasiswa ibuk padahal mahasiswa ibuk pengen ketemu langsung sama ibuk. Ibuk ngga bisa kerja yang sama kaya temen-temen ibuk, padahal temen-temen ibuk butuh ibuk".

K: "Pokoknya ibuk ngga boleh berhenti kerja"

Kurang lebih begitu percapakan kami di atas motor sampai akhirnya kami tiba di kampus. Saat turun dari motor dan melepas helm, ku lihat mata Keefe berkaca-kaca. Aku kaget ngga mengira dia akan menangis. Setelah kutanya, "Keefe nangis?" makin lepas tangisannya yang membuatku berjongkok agar sejajar dengannya.

K: "Ibuk, keefe butuh dipeluk dulu."

Sambil kupeluk, Keefe melanjutkan kalimatnya

K: "Keefe ngga mau ibuk berhenti kerja. Ibuk, engkong sama emak aja udah tua tapi masih kerja. Kenapa ibuk malah berhenti kerja? Masa Keefe harus minta uang sama Emak dan Engkong terus? Uang emak dan engkong udah dikasih ke supir truk. Gimana kalo Keefe butuh sesuatu, keefe pengen jajan, keefe butuh beli buku, beli mainan, gimana sekolah Keefe? Keefe ngga mau ibuk berhenti kerja."

Akhirnya di parkiran sambil jongkok ku peluk Keefe. Jadilah kami berdua, ibuk dan anak yang sama-saama menangis di parkiran motor. Mesraaa

I: "Keefe takut ibuk ngga punya uang yaa. Sama. Ibuk juga takut ibuk ngga punya uang. Ibuk juga takut ngga bisa beli skincare, beli baju, beli mainan, beli buku. Ibuk juga takut banget ngga punya uang lagi. Makanya Keefe doain yaa, abis ibu berhenti dari sini, doain ibuk biar bisa punya kerjaan lagi, biar bisa dapet uang lagi. Keefe juga ngga perlu takut. Bapakkan masih kerja, masih bisa kok insyaallah untuk beliin buku keefe, untuk sekolah keefe."

K: "Ibuk, bapakkan juga masih kuliah, belum kerja di rel lagi. Uang bapak juga sedikit. Dulu aja waktu bapak masih kerja di rel kalo Keefe bantu bapak parkir mobil Keefe dapet uang parkir dari bapak. Sekarang sejak bapak kuliah, tiap keefe parkirin mobil bapak, keefe udah ngga dikasih lagi uang parkir. Gimana kalo Keefe butuh untuk keperluan sekolah Keefe?"

(Yaa Allah pengen ketawa di sela nangis denger uang parkir. Ternyata anak gue pengamat keadaan)

 I: "Insyaallah kalo untuk keperluan sekolah Keefe, hobbi keefe, ibuk dan bapak akan usaha cari uangnya. Keefe doain Ibuk, abis berhenti dari sini ibuk akan cari kerja lagi. Kalo belum dapet kerja, ibuk mau coba jualan kaya emak dulu, Jual makanan, nanti ibuk bikin masakan terus ibuk jual biar ibuk dapet uang lagi."

K: "Ibuk janji yaa. Ibuk langsung cari kerja lagi atau ibuk langsung jualan kalo ibuk berhenti kerja. Ibuk peluk dulu. Mau ga gendong Keefe?"

I: "Mau. tapi klo gendong di rumah. Ini kan kita harus naik ke lantai dua kalo gendong keefe bisa pingsan ibuk."


Begitulah akhir percakapan kami. Dengan Keefe yang masuk ruang dosen dengan muka kusut. Disambut heran oleh rekan dosen karena tak seceria biasanya. 

Hari itu, aku makin tau anak lima tahun ku sudah dewasa, sudah paham finansial, sudah bisa insecure masa depan.

Hari itu, di mana aku kembali mengajukan surat permohonan berhenti berkerja. 

Tuesday, April 4, 2023

Akhirnya ke Psikolog

Setelah lama menimbang banyak hal, akhirnya Senin (3 April 2023) kemarin aku melakukan konseling secara daring dengan salah satu psikolog di Bandung. Banyak hal yang membuatku akhirnya memutuskan untuk konseling setelah sebelumnya maju mundur. Hal terbesar adalah hubunganku dengan Keefe yang tadinya mesra, romantis, dan harmonis akhir-akhir ini seperti kucing dan anjing. 

Aku semakin kualahan menghadapi tingkahnya namun kusadari dengan betul bahwa bukan perilakunya yang menantang tapi itu adalah bentuk protesnya terhadap sikap dan sifat ibunya yang berubah. Pun aku memang clueless menghadapi semua polahnya sehingga menambah emosi, keefe semakin protes, menggelinding bagai bola salju. Sebelum hubungan kami makin buruk, kuputuskan bahwa pertama yang harus kulakukan adalah memperbaiki perilakuku dengan niat terapi kesabaran dan keikhlasnya dengan profesional.

Aku dengan segala sisi negatif yang aku rasakan saat ini, mulai dari penyesalan, keberatan, kekecewaan, dan kelelahan dengan sadar bahwa aku lalai melampiaskan semua itu pada anak kecilku. Inferior yang berakibat pada rasa superior. Begitu diagnosis yang kulakukan pada diriku sendiri. Intinya, aku sadar aku salah dan aku harus secepatnya memperbaiki. Aku sadar aku tidak mampu memperbaikinya sendiri maka aku butuh tenaga profesional untuk membantuku.

--

Setelah dipersilakan untuk memulai cerita yang pertama kuucapkan bahwa hari itu aku sedang tidak baik-baik saja. Beberapa menit aku menangis tidak bisa melanjutkan ceritaku. Hariku dimulai dengan perasaan marah kepada anak kecil dan kecewa pada diri sendiri karena merasa sudah salah menanggapi anak kecil di pagi hari. Malam sebelumnya, aku yang sudah membuat tembok dilarang memukul nyaris memukul anak kecil yang membuatku kacau, meninggalkan anak kecil berdua dengan bapaknya lalu menangis sendirian di mesjid depan rumah. 

--

Dari banyak latar belakang, aku diminta psikolog untuk meranking mana yang menjadi prioritasku. Aku jawab bahwa aku boleh kehilangan kesabaran atas hal lain tapi aku tidak mau, tidak boleh kehilangan kesabaran menghadapi anak kecilku. Aku gagal mengelola perasaanku bahwa proporsi kesabaranku untuk anakku. Nyatanya anakku hanya mendapatkan sisa kesabaran yang minus. 

Aku menceritakan bagaimana Keefe bertanya dan berkata kepadaku

  • Ibuk kenapa sekarang cerewet?
  • Ibuk kenapa sekarang marah karena Keefe tumpahin air? Keefe mau tanggung jawab kok. Ibuk dulu ngga marah Keefe tumpahin tepung. Ibuk cuma minta Keefe tanggung jawab.
  • Ibuk itu bukan ibuknya Keefe.
  • Ibuk Keefe itu ngga suka Ibuk berteriak, ibuk nangis di depan Keefe, Ibuk sedih.
  • Ibuk, sulit yaa jadi Ibuk? Tapi Ibuk tetep mau kan jadi Ibuknya Keefe?
  • Ibuk, maafin Keefe ya udah buat ibuk capek, tapi ibuk jangan capek. Ibuk temenin Keefe. Ibuk jangan sedih.
Terakhir, saat memandikan Keefe, tiba-tiba Keefe berkata, "Ibuk, kalau Ibuk ngajar sama mahasiswanya Ibuk, Ibuk jangan cemberut kaya sekarang nanti mahasiswa ngga seneng dan takut". Seketika aku sadar bahwa saat ini tersenyum saja aku tak punya tenaga. 

--

Banyak hal yang kusadari bagaimana aku memperlakukan anakku berbeda dari aku yang sebelumnya. Aku yang saat ini punya tambahan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya justru membuatku tak punya waktu bermain dengan gembira bersama anakku. Hariku dipenuhi rasa terburu yang berakibat aku tak punya fokus apa yang sedang kukerjakan.

Aku jarang melakukan science experiment padahal ketika bekerja di luar rumah aku bisa rutin melakukannya. Aku mulai banyak aturan dan larangan saat bermain padahal aku yang dulu tidak demikian. Saat ditanya psikolog apa yang membuatku berubah saat bermain, kujawab: aku takut akan semakin menambah pekerjaanku, kelelahanku, dan emosiku. Aku larang karena aku takut ada tumpah, rumah berantakan, aku membantu membersihkan, dan aku lelah. Aku larang karena aku enggan bernego dengan Keefe untuk segera bertanggungjawab karena rasanya aku tidak ada kesabaran dan kesanggupan lagi untuk nego dalam damai.

---

Aku berkata bahwa psikolog tolong bantu aku untuk mendapatkan kesabaranku kembali setidaknya seperti dulu. Aku bercerita bahwa Keefe akan sekolah formal bulan Juli nanti. Aku tidak ingin sisa waktuku dihabiskan dengan marah-marah. Aku merasa bahwa waktuku berdua dengan Keefe akan semakin sedikit setelah dia mulai sekolah nanti. Aku ingin waktuku kembali berkualitas dengan limpahan senyuman riang seperti dulu. 

Setelah kupikirkan bahwa bukan hanya hubungan kami yang semakin buruk, tapi perilaku Keefe bagaimana dia menghadapi teman-temannya dan situasi di depannya juga mengalami kemerosotan. Keefe yang dulu cuek ketika diejek saat ini seakan menarik diri saat itu terjadi. 

--

Aku berada di sini, melepaskan karirku, 24 jam membersamainya, karena aku yang memilih untuk menemaninya dalam kegembiraan, bukan untuk menorehkan luka masa kecil yang akan dia bawa sampai dia meninggalkan dunia ini. Maka aku butuh sembuh, aku butuh bantuan.

Saat ini, aku dibantu psikolog untuk mengelola emosiku. Semoga dilimpahkan rejeki untuk menerima bantuan dari psikolog anak agar aku tau cara membantu Keefe menghadapi dirinya sendiri. 

--

Apa yang aku lakukan saat ini adalah caraku untuk bertumbuh, caraku untuk berdamai, caraku untuk sejahtera lahir dan batin. Aku bercerita pada Keefe bahwa ibu ke "dokter" untuk sembuh agar lebih sabar. Semoga yang Keefe ingat bukan ibunya yang pemarah tapi Ibu yang juga berusaha menyembuhkan luka.