Kemarin, tepatnya Senin, 5 Mei 2025 aku memantapkan hati konsultasi tatap muka ke psikolog.
Setelah dipersilakan duduk, mba Intan, psikologku memberikan hasil assesment yang beberapa hari sebelumnya aku kerjakan secara daring. Beberapa lembar yang diberikan padaku mampu membuatku berkaca-kaca. Beberapa menit kuhabiskan "cerpen" itu sambil berkali-kali menghela napas.
"Gimana?" begitu yang kuingat kata mba Intan saat aku selesai membacanya. Tak langsung kujawab karena aku harus mengatur emosiku.
"Kaya baca cerpen sedih tapi tentang diri sendiri".
"Merasa divalidasi?" begitu kemudian mba Intan kembali bertanya yang kujawab dengan isak dan anggukan.
"Kalau boleh tau kenapa mba Elvira kesini?"
Aku tak mampu langsung menjawab pertanyaan itu, aku meminta tissu karena tangisku tumpah. Aku pernah mengalami hal ini di depan psikolog lainnya.
Mba Intan membiarkanku melepaskan segala emosiku tanpa berkata apapun. Its your time, mungkin itu pikirnya. Setelah mulai menguasai diri aku menjelaskan.
---
Aku tau aku sudah lama ngga baik-baik saja. Tapi semakin kesini aku makin sadar aku menularkan semuanya ke anakku. Aku sadar segala "perilaku buruk" anakku akibat perlakuan burukku padanya.
Kulampiaskan semua kelelahan, kewalahan, frustrasi hanya padanya. Anakku lah satu-satunya sasaran empukku. Aku bebas melampiaskan kekesalanku lewat kesalahan kecilnya.
Sebelumnya, saat aku masih tinggal dengan adik bungsuku, aku pernah melampiaskan emosiku padanya, kupukul dia yang menurutku-waktu itu kebangetan (yang sampai sekarang terasa sakit karena rasa bersalah).
Setelah hanya tinggal dengan anak dan suamiku, kejadian itu kembali berulang pada anakku sendiri. Sampai kemudian setelah mulai kurenungi, aku yang miskin ilmu dan sempit sabar, ditambahkan lelahnya hatiku menghadapi kesendirianku. Bukan mereka yang berperilaku nakal ataupun hal negatif lainnya. Mereka hanya media untukku melampiaskan segala emosi yang sudah kutahan dalam hatiku.
Hanya karena sedikit kesalahan, aku yang memang ingin berteriak menumpahkan bentakanku pada anak-anak kecil itu, pukulan dan cubitanku pada sesosok yang tak seharusnya mendapatkan itu.
Saat mulai sadar, aku ingin mengembalikan parenting ku yang sempat sehat. Ternyata tak mudah. Beragam kelas parenting kuikuti bahkan sejak anakku masih bayi gagal kupraktikkan. Semakin bertambah umur Keefe, semakin sempit sabarku, semakin menantang peran ibu-anak kami.
Kudatangi psikolog anak karena anakku sudah terlanjur meng-copy segala tindak tanduk burukku. Sungguh menghadapi anakku yang semakin besar justru tantrum berulang. Aku berkaca, cara Keefe menumpahkan emosinya itu adalah AKU. Aku seperti menghadapi diriku sendiri. Dua tahun parenting berubah tidak sehat, aku ditunjukkan bagaimana menyebalkannya diriku sebagai orangtua oleh anakku dengan sikapnya.
Mulai dari guru, psikolog sekolah, sampai menyisihkan uang tabungan untuk pergi ke psikolog anak. Aku mau mengusahakan segala yang terbaik karena aku tau aku butuh bantuan. Semakin lama kutunda semakin besar peluang kami (aku dan Keefe) menciptakan trauma.
Tapi rasanya aku sudah khatam dengan saran dari psikolog-psikolog anak itu. Secara teori nilaiku bagus, aku mampu menjawab segala pertanyaan psikolog dari sisi positifku. Tapi praktiknya, kesabaran dan emosiku jeblok. Bukannya membaik, keadaan semakin memburuk.
Anakku sekarang sudah tujuh tahun, bukan lagi toddler. Dia akan menghadapi fase beratnya sebagai anak-anak dan masa prapubertasnya. Aku mau menemani dia dengan layak dan nyaman. Aku ngga mau semakin lama semakin kesulitan menumbuhkan hubungan yang sehat.
Aku tau masalahnya bukan pada anakku, tapi ada dalam diriku.
Aku mau berdamai dengan diriku sendiri, aku mau ikhlas, atau mungkin yang aku pengen adalah rasa tidak peduli. Aku mau aku bisa bahagia sendiri lalu kemudian aku bisa segar menyirami anakku. Menularkan kebahagiaan buat anakku bukan warisan luka..
Selama ini, aku seperti bertukar peran. Anakku lah yang selalu berusaha mengerti diriku, mengisi tangki cintaku yang kosong, meramaikan ruang sepiku itu. Bagaimana aku bisa mewujudkan doaku agar anakku bahagia sementara energinya selalu habis untuk diberikan pada ibunya yang kering ini?
----
Begitu aku menjabarkannya ke Mbak Intan. .
Terkesan remeh?
Jangan salah, meski banyak yng skeptis soal gentle parenting, tapi aku pernah sedikit lagi berhasil melakukannya. Aku sudah merasakan manfaatnya, mulai dari kemandirian anakku di usia dini, kelihaian motorik, dan kemantapan kognitif dari caraku menerapkan gentle parenting.
Setelah pola asuhku (tak sengaja) berubah, semuanya bubar jalan. Aku menyadari banyak kemorosotan terutama dari perilaku dan hubunganku dengan anakku. Orang lain tidak menyadarinya. Tapi AKU BISA MENJABARKANNYA kalau mau.
AKU. AKU. AKU YANG PALING MENYADARI PERUBAHAN BURUK DARI PARENTINGKU DAN BERBAGAI AKIBATNYA.
Aku tak hanya pernah memukul, berteriak dan sering membentak anakku. Aku tau itu salah maka aku tak boleh melakukannya lagi.
Tak bisa melukai orang lain, aku melakukannya pada diriku sendiri. Masih dalam taraf menggigit, mencubit, dan menjambak diri sendiri. Aku melakukannya agar bisa sedikit melupakan kesakitan hatiku yang teralihkan oleh sakit fisikku. Beberapa tahun yang lalu, aku ambil pisau di depan suami dan anakku. Kesalahan besar yang kulakukan pada DIRIKU DAN ANAKKU. Saking sesaknya dadaku dengan emosi dan rasa disalahkan.
Kerapkali aku membayangkan rasanya merokok. Sepowerfull itukah melepas stress? Berimajinasi merokok di atap rumah sendirian rasanya nikmat melupakan masalah dan rasa sepi.
Tiga tahun terakhir dan makin sering beberapa waktu kebelakang, dadaku sakit, sakit sekali, aku bahkan merasa harus ke UGD karena rasa sakitnya. Aku kesulitan bernapas. Kupikir jantungku bermasalah. Anehnya, ketika aku ada bersama orangtua ku, aku lupa dadaku sakit, ohh sakitnya hilang. Lalu aku berpikir, apakah ini gejala depresi?
---
Mba Intan bertanya kapan terakhir kali merasakan gejala itu? LEBARAN. Hari itu aku mengurung diri di kamar, menangis, ingin marah dan meluapkan teriakan tapi aku tak bisa, ku sakiti fisikku karena sesakit itu hatiku.
Kalimat itu, peristiwa itu sampai detik ini membuatku menangis SETIAP HARI. Mengingat peristiwa yang mungkin bagi semua orang adalah hal wajar tapi aku justru sakit. Menulis ini saja membuatku menangis.
Kucoba alihkan fokusku, sekuat tenaga ku lupakan tapi justru semakin melekat.
Aku mencuci piring sambil mendengarkan podcast, aku menangis tiba-tiba teringat hari itu. Lebih aneh lagi, pas zumba bisa-bisanya adegan dan ucapan itu muncul di otakku dan kembali membuatku sakit. Ketika itu terjadi, kejadian-kejadian mengecewakan dan menyakitkan lainnya kembali terurai, menyapa, dan menyayat.
Apa yang terjadi saat lebaran? Sungguh sampai detik ini AKU MUAK KARENA AKU NGGA PERNAH TAU APA YANG SESUNGGUHNYA TERJADI. AKU DITUDUH TAPI AKU TAK BISA MEMBELA DIRI. Kejadian itu membuatku ovt ada banyak tuduhan lain padaku, mungkin pada orangtuaku, yang aku ngga tau karena ngga pernah ada penjelasan apapun dari siapapun. MUAK..
Aku capek menderita sendirian. Yang lain mungkin merasa semua berjalan baik-baik saja. Hanya aku yang bertopeng kebahagiaan. Aku ngga mungkin menceritakan kepahitanku pada orangtuaku, biarlah yang mereka tau gadis kecilnya ini selalu bahagia.
Aku mau sembuh, bukan cuma karena hanya aku yang merasa sakitnya tapi aku ngga mau anakku tertular.
Aku ngga mau orang-orang yang aku cinta dan aku sayang justru menjadi orang-orang yang paling rawan.
Aku nggamau rasa sakit ini menggorogoti hati dan sel baik dalam tubuhku. Membuatku kehilangan nikmat karena terlalu merasa nestapa. Aku masih bisa merasakan tulusnya rasa sayang orang-orang yang jelas-jelas menunjukkannya kepadaku. Aku ngga mau kehilangan rasa syukurku.
AKU MAU SEHAT...
No comments:
Post a Comment